Ketika Hujan Turun di Sore Hari

Secangkir coklat panas mengepul di atas meja. Sepotong pancake keju terhidang di sebelahnya. Dan seorang sahabat masih asyik mengoceh di hadapanku. Sore itu hujan turun di langit Yogyakarta. Hujan yang secara perlahan menelan kebisuan di dalam hatiku. Ya, hatiku. Hatiku yang awalnya diam tak berbicara. Hampa.

Angin dingin berhembus, membuat bulu kuduk tanganku yang terbalut jaket merinding. Aku menatap sahabatku dengan sungguh-sungguh. Memperhatikan setiap kata yang terlontar dari mulutnya. Mendengarkan curahan hatinya. Memproses setiap kalimat yang ada di dalam otak.Input-proses-output. Seluruh neuron di otakku bahu membahu menghantarkan sinyal. Mencerna setiap informasi yang ada. Terkadang hatiku ikut mengintervensi. Mewarnai segala gagasan dengan percikan perasaan. Logika? Tidak, aku tak mau mengikuti logikaku terus-menerus. Hatiku mungkin kosong, tapi tidak mati rasa.

Aku masih menatap sahabatku. Sesekali menganggukkan kepala, menunjukkan bahwa aku mendengar segala sesuatu dengan sungguh-sungguh. Rasa itu kembali muncul. Aku, keakuanku. Berlomba-lomba ingin berebut menerobos segalanya. Lagi-lagi ingin berkata “tentang aku”. Tapi aku tahan. Disini dia yang sedang bercerita. Posisiku adalah mendengarkan. Memberi solusi kalau perlu. Bukan berbicara.

Hujan masih turun, angin dingin tetap berhembus, meski cokelat panas telah berhenti mengepul, namun ceritanya belum selesai. Aku masih mendengarkan. Sesaat aku berfikir, aku pasti sering seperti ini. Dulu, saat getaran itu masih menguasai hatiku. Menjerat logikaku. Membutakannya dengan semena-mena.  aku mengerti, aku pernah begitu. Terdorong oleh keinginan hati yang kuat. Bingung. Seperti masuk dalam pusaran black hole, menghisapku dengan kuat. Tenagaku habis untuk berontak, hingga aku pasrah. Disisi lain black hole ini begitu nikmat. Membawaku dalam jurang ketidak jelasan, namun mengiming-imingiku dengan keindahan. Betapa kadang secuil perhatian, setitik harapan, membawa perasaan terus berkembang.

Kembali aku menatap sahabatku. Hujan turun dengan rintik-rintik. Perlahan ia berhenti. Perasaanku pada “dia” pun begitu.

Aku pernah mendengar bahwa bau yang timbul dikala hujan disebut petrichor. Aku suka itu. Bau tanah, menenangkan. Sama seperti saat ini. Hatikupun sedang tenang. Walau hampa.


Sahabatku masih bercerita. Sesekali ia menyesap cokelat panas yang tak lagi mengepul. Akupun tersenyum. Nikmatilah sahabat. Saat-saat ini pasti akan kau rindukan. Dikala engkau bercerita tentang dia. Tentang berbagai hal mengenai dia. Tentang segala hal yang membuatmu muak. Tentang segala hal yang membuat kita muak. Tentang dia “sahabat” kita. Tentang segala hal yang menyakitkanmu. Tentang segala hal yang menggangu benakku. Hingga perlahan sore berganti malam. Dan cokelat panas itu habis kita teguk. Dan sudah saatnya kita pulang. Karena hujan telah berhenti, sejak tadi. 


Komentar

Postingan Populer